Guru Besar IAIN SNJ CIebon, Prof Dr Adang Djumhur Lakukan Studi Banding Ke IIBS Malang, Jatim
Rabu, 20 November 2019
Edit
FOKUS CIREBON - Upaya untuk meningkatkan kualitas lulusa, Guru Besar IAIN Syekh Nurjati Cirebon, Prof Dr Adang Djumhur pun ikut mendorong lembaga pendidikan Islam untuk meningkatkan kualitas lulusan dan terus berinovasi dalam pengembangan kelembagaan.
Hal itu dituangkan Prof Adang dalam pemdampingan Pengurus Ponpes Al-Islah Bobos Cirebon yang melakukan studi banding ke Tazkia International Islamic Boarding School (IIBS) Malang, Jawa Timur, Minggu (17/11) sebagai bagian dari pengamalan Tri Dharma Perguruan Tinggi.
Menurut Prof Adang, melalaui studi banding itu diharapkan terjadi transfer pengetahuan terkait tata kelola kelembangaan dari Tazkia ke Al-Islah. Pasalnya, Tazkia layak menjadi lembaga pendidikan Islam alternatif. Khususnya bagi generasi milenial. Karena bisa menutupi dan melengkapi kekurangan yang ada pada lembaga pendidikan salafi di satu pihak dan lembaga pendidikan modern di pihak lain.
Prof Adang menjelaskan, Tazkia menawarkan keunggulan pembelajaran bahasa Inggris dan Arab, entrepreneurship, dan penguasaan IT yang jadi kebutuhan masa depan generasi milenial. Walaupun sekolah (tingkat SMP dan SMA) di Tazkia tidak murah, biaya masuknya Rp38 juta, biaya per bulan Rp2,65 juta, dan biaya pendaptaran Rp650 ribu. Tetapi, peminatnya sangat tinggi, bahkan mereka rela inden untuk tiga tahun ke depan.
Untuk tahun 2020, hanya kelas 3dan kelas 8 yang bisa diterima. Sedangkan kelas 4, 5, 9 dan 10 sudah ditutup. Karena sudah penuh. Jumlah siswa saat ini 400 putri dan 400 putra, tetapi lebih dari 1.500 calon siswa yang sudah menunggu antri masuk. "Meski begitu, tersedia 10 persen kursi bagi siswa tidak mampu dan anak yatim yang berprestasi," ujar Prof Adang.
Dia melanjutkan, pelajaran yang bisa diambil dari studi banding itu antara lain bahwa pengelolaan pendidikan Islam harus memiliki visi yang berorientasi memenuhi kebutuhan masa depan serta dikelola secara profesional.
Dalam konteks IAIN Cirebon yang memiliki Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) sejak 1965 dan telah melahirkan puluhan ribu lulusan sebagian besar berprofesi sebagai guru dan pengelola lembaga pendidikan, sudah waktunya memiliki sekolah model seperti Tazkia. Sekolah model dapat dijadikan sebagai laboratorium mahasiswa dan alumni untuk mengaktualisasikan ilmu di sekolah model.
"Sebenarnya usulan itu sudah terlambat untuk diwujudkan, tetapi ada kaidah, bahwa lebih baik terlambat dari pada tidak sama sekali," pungkas Prof Adang. (din)