Menilik Kisah Perjuangan Septi Gumiandari Hingga Meraih Gelar Profesor

Dr Septi Gumiandari M.Ag, sukses meraih gelar Profesor.


FOKUS CIREBON - IAIN Syekh Nurjati Cirebon kembali menambah satu Profesor lagi. Profesor ke 12 di IAIN Cirebon ini diraih oleh Septi Gumiandari dengan angka kredit 967,5 kum, di bidang Ilmu Pemikiran Islam.

Prof Dr Septi Gumiandari, M.Ag pun bercerita banyak soal bagaimana dirinya berjuang hingga meraih gelar Profesor, dan tentu banyak hal yang sudah dilakukan Septi Gumiandari hingga sukses menjadi Profesor ke 12 di lingkungan Civitas Akademika IAIN Syekh Nurjati Cirebon.

Cerita itu, bermula selepas dari jabatan Lembaga Penjamin Mutu (LPM) pada tahun 2019, Septi mulai belajar mendalami lebih intens dunia publikasi. Meski sebenarnya terkait dengan menulis dan meneliti sudah lama dilakukan, semenjak saya kuliah dan diangkat menjadi PNS, namun mempublikasikan karya hasil penelitian itu adalah hal yang berbeda. 

Kata Septi, dalam publikasi karya itu, terdapat 2 (dua) hal penting yang harus dimiliki seorang penulis, yakni kemampuan kendali diri dan perubahan mindset. Menulis bukan hanya masalah kemampuan merangkai tulisan dan gagasan secara kognitif, tapi juga terkait dengan masalah Psikologis. 

Kita perlu memiliki mental yang kuat untuk bisa menerima bila artikel kita di-reject berkali-kali, dikritisi dan direview sesuai dengan keinginan reviewers dan editors. 

Dalam dunia publikasi, tidak selamanya artikel yang ditolak itu karena kualitasnya yang kurang baik, tapi bisa jadi karena masalah scope (ruang lingkup jurnal yang tidak sesuai dengan naskah yang dikirimkan), gaya selingkung jurnal yang berbeda dengan kebiasaan kita menulis, masalah antrian yang panjang dalam jurnal, dan lain-lain.  

Karena itu, perubahan mindset dan menekan ego diri diperlukan dalam hal ini. Itulah mengapa prof. Irwansyah menyatakan: “dari authorship ke editorship.” 

Dalam mempublikasikan karya, kita tidak bisa memaksakan keinginan kita sebagai author terhadap jurnal yang dituju, namun kita perlu tau keinginan editor, gaya selingkungnya, termasuk bagaimana menyenangkan pihak editor dengan men-submit artikel sesuai dengan pola penulisan dalam jurnal, segera memperbaiki catatan yang diberikan, dan mensitasi artikel-artikel yang ada di dalam jurnal yang dituju.

Intinya, kita tidak dapat mengendalikan orang lain termasuk editor dan reviewer jurnal, tapi kita bisa mengendalikan diri sendiri untuk menyesuaikan dengan keinginan mereka hehehe

Diakui Septi, dirinya baru mengenal beberapa jurnal internasional terindeks scopus dan masih terus perlu belajar lagi. Artikel yang terbit di di QIJIS (Qudus international Journal of Islamic Studies) itu sebetulnya factor lucky saja. Saya mengikuti konferensi yang diadakan di Kudus tahun 2019, dan ternyata artikel saya terpilih menjadi artikel yang dipandang layak published dalam jurnal terindeks scopus pada tahun 2020, padahal dari sisi kualitas, artikel saya masih sangat jauh dari sempurna. Karena itu, semuanya pasti ada rencana Tuhan di dalamnya.

"Saat ini, saya mulai belajar gaya selingkung artikel dalam jurnal internasional bereputasi di luar Indonesia. Dalam waktu dekat, artikel saya dengan judul: “Trajectory of Islamic Psychology; Problems and Prospects” dan “Islamic Resilience as Spiritual and Psychological Coping Strategies in Islamic Psychology in Pandemic Era” akan terpublikasi dalam jurnal HTS Teologiese Studies (Q1) dan AFKAR journal University Malaysia (Q2). Keduanya sudah melalui tahapan review konten, sekarang masuk pada tahap proofread bahasa. Mohon doanya, semoga segera dapat terpublikasi yaa," ujarnya.

Selain itu, lanjut Septi, proses pengajuan GB  ia lakukan pada tahun 2021. Meskipun sejujurnya, Ia belum yakin betul dengan kapasitas diri untuk melaju ke jenjang professorship, namun karena kepangkatannya yang sudah lumayan lama (IV/c tahun 2013), dan beberapa teman serta bagian kepegawaian yang sudah mulai ‘gerah’ dengan mandegnya karir dirinya yang belum juga move on mengajukan kenaikan pangkat baru. 

"Akhirnya, bismillah…. saya ajukan diri dengan bidang ilmu “Psikologi Pendidikan Islam” (sesuai dengan peminatan saya). Pengusulan tersebut ternyata tidak linier dengan ijazah S-3 (Pemikiran Islam) dan artikel persyaratan yang diminta, sehingga saya diminta merevisinya ke bidang ilmu “Pemikiran Islam”. Proses ini lumayan memakan waktu perenungan bagi kami (saya dan suami), wal-hasil, kami memutuskan untuk menerima revisi tersebut, dengan pola pikir: pemikiran Islam sangatlah luas, yang di dalamnya juga bisa mengokomodasi ilmu keislaman lainnya, termasuk Psikologi Pendidikan Islam yang saya minati. Hingga akhirnya per-April 2022, SK GB saya tersebut turun dengan bidang ilmu “Pemikiran Islam.” paparnya.

Life long learner. Dirinya ingin menjadi pembelajar sejati sampai kapan pun. Jabatan professor tidak boleh dianggap sebagai capaian akhir dari seorang akademisi. We are in process untuk selalu menimba ilmu pengetahuan Allah yang sangat luas itu. Bukankah belajar itu konsepnya sepanjang hayat? Apa yang kita ketahui pastinya sangat sedikit dari luasnya samudra pengetahuan yang hakiki (ilmu Allah). 

"Bila kita merasa puas, merasa sudah menguasai dan berhenti menimba ilmu, kita sebenarnya telah terjebak pada arogansi intelektual. Bagi saya, professor itu hanyalah jabatan sematan dari kepangkatan karir dosen semata. Jadi, nothing to loose, apalagi harus menutup kran dan semangat saya untuk belajar. Mohon doa, semoga saya terus bisa belajar dan be socially humble karena saya bukanlah siapa-siapa," tandasnya.




Terkini